Tentang Ritual dan Spiritual Jawa
gb. orang yang sedang ritual di salah satu petilasan |
Spiritual Jawa yang dikenal dengan banyak keunggulan
dari berbagai sisi, memang mengundang banyak orang untuk
mempelajarinya atau sekedar ingin tahu. Ada juga beberapa orang yang
menganggap spiritual Jawa mempunyai ilmu/ cara khusus menyelesaikan
masalah seseorang. Ada juga diantara mereka yang masih muda, dalam
mencari jati dirinya ia belajar pada spiritual Jawa.
Dari sudut pandang yang berbeda, kini masyarakat yang
masih berpegangan ajaran Jawa lebih sering dianggap tidak
semestinya. Entah apa yang ada di pikiran
orang-orang itu sehingga berpandangan seperti itu. Namun, yang jelas
dari pengetahuan-pengetahuan Jawa yang ada, Budaya Jawa mengajarkan
sembah, sungkem, bhakti, sopan santun yang tinggi, mengajarkan
kerukunan, gotong-royong, dan filosofi lainnya, yang jelas-jelas
tidak dimiliki oleh budaya asing manapun.
Kenyataan hidup tak pernah ada kepastian sebelum
kenyataan itu benar-benar terjadi. Perkembangan jaman serta kondisi
masing-masing diri dapat membuat kegelisahan yang mendalam. Situasi
yang sudah teramat sulit untuk diatasi dengan pikiran sering membuat
kita bimbang atau bahkan kosong. Di saat itulah kita sadar bahwa kita
membutuhkan tempat renungan untuk penghayatan. Menghayati atas apa
yang telah kita lakukan, menuju keheningan dalam mencapai pendekatan
diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Adanya Gunung Srandil dan Selok (dan juga tempat-tempat
spiritual jawa lainnya) diantaranya memang telah digariskan oleh
Tuhan Yang Maha Esa sebagai tempat renungan dan penghayatan. Sungguh
prihatin dengan banyak munculnya kekeliruan pandang serta kekeliruan
niat dalam bertandang. Timbulnya kekeliruan niat tujuan biasanya
karena nafsu yang terdesak oleh himpitan kondisi kehidupan, biasanya
adalah nafsu tahta dan harta. Yang demikian itu adalah kekeliruan
yang teramat dalam bagi siapa pun dan dimana pun juga.
Dalam hal ini, tempat ritual (misalnya: Gunung Srandil
dan Selok) bukan untuk disembah dan tidak minta disembah. Gunung
Srandil dan Gunung Selok juga bukan tempat untuk meminta, dan tidak
pula menjanikan suatu apa pun. Hanya orang keliru saja yang meyakini
akan kekayaan dan keinginan bisa terpenuhi bila melakukan ritual di
Gunung Srandil dan Selok. Banyak orang di luar sana yang sukses tanpa
datang ke Gunung Srandil dan Selok. Banyak orang di luar sana yang
menduduki tahta tanpa ke Gunung Srandil dan Selok. Ini merupakan
bukti bahwa Gunung Srandil dan Selok sesungguhnya tidak menjanjikan
apa pun.
Gunung Srandil dan Selok sungguh hanya wahana
penghayatan hidup atas kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Berserah diri
adalah inti dari penghayatan dengan sedalam-dalamnya, hingga tidak
ada yang lebih dalam. Kecuali mengetahui bahwa Tuhan menciptakan
manusia tidak untuk mencari harta dan tahta. Tapi diciptanya harta
dan tahta manusia adalah untuk mencari Tuhannya. Sungguh Gunung
Srandil dan Selok bukan tempat kemusyrikan.
Gunung Srandil dan Selok berada di daerah suku Jawa,
maka tata cara ritual yang digunakan juga relatif tata cara ritual
adat Jawa atau Kejawen. Dalam tata cara ritual kejawen (orang Jawa),
bila berkunjung ke tempat ritual biasanya ada bunga dan kemenyan.
Walau demikian, hal itu bukan merupakan suatu kemutlakan atau
keharusan. Menurut kepercayaan orang Jawa pada umumnya, bung adan
kemenyan telah diyakini sebagai sarana yang digunakan untuk sarana
tersampaikannya doa. Bagi para ritualis yang sungguh-sungguh, bunga
dan kemenyan jauh dari hubungan mengundang setan, apalagi niat
persekutuan dengan makhluk-makhluk yang penuh kutukan Tuhan. Namun
sebaliknya, bunga adalah untuk menyalurkan niat dekat dan murninya
kasih sayang Tuhan Yang Maha Esa.
Para ritualis selalu yakin bahwa Tuhan akan sangat
dekat, apabila insan mau mendekat, bahkan lebih dekat dari urat
nadinya. Namun sebaliknya, Tuhan akan sangat jauh bahkan lebih jauh
dari batas langit apabila insan itu menjauh. Hal tersebut terbatas
dalam istilah Jawa sebagai berikut: Cedak
tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan.
Artinya, dekat tanpa sentuhan, jauh tanpa ukuran. Sedangkan ujung
dalam perjalanan ritual dalam bahasa Jawa diistilahkan: pasrah pati
njaluk urip. Artinya, menyerahkan mati, meminta kejelasan hidup atas
anugerah keadilan Tuhan.
Dengan kewaspadaan batin yang kuat dalam pedoman sembah
hanyalah kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbusana sederhana dengan
kerendahan hati yang ada pada diri kita, serta dilandasi dengan niat
yang tepat, menjalani ritual adalah sebuah perjalanan yang semestinya
tidak untuk mengharap kepopularitasan, kepangkatan, ataupun kekayaan.
Tujuan ritual adalah menggapai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Sedikit
keterangan di atas mudah-mudahan dapat memberikan gambaran dalam
keniatan hati kita.
Comments
Post a Comment