Tempat Ritual Srandil: Mbah Gusti Agung
Tempat ritual Mbah Gusti Agung atau yang akrab
disebut dengan Mbah Agung, terletak di Gunung Srandil sisi timur, tepat di
bawah tebing. Menurut sejarah, tempat ritual ini merupakan petilasan Raja Mataram
yang ketiga, yaitu Kanjeng Sultan Agung Hanyakra Kusuma. Sultan Agung Hanyakra
Kusuma merupakan Raja Mataram yang ketiga setelah Panembahan Senopati dan Prabu
Hanyakrawati.
Sultan Agung melakukan ritual (bertapa) di
Gunung Srandil berdasarkan tajamnya kacamata batin beliau sehingga mengetahui
bahwa di sini adalah tempat Sang Pamong Nusantara (Sabda Palon).
Telah banyak
kutipan sejarah yang menyatakan bahwasanya seorang pemimpin bangsa akan
betul-betul mampu dan terbukti bisa memimpin bangsanya, apabila kuat dan gentur
dalam tapa bratanya. Dan, setiap pangeran (putra mahkota atau calon raja) di
Jawa khususnya, sebagian besar terbentuk matang jiwanya dalam proses
pengembaraan yang merupakan perjalanan spiritual.
Tujuan tapa brata bukanlah untuk meinta
kekayaan atau meminta tahta, tetapi untuk menggapai wahyu jatmikaning keprabon
(wahyu kenegaraan). Sosok pemimpin yang tidak matang tapa bratanya, dapat
dipastikan tidak bisa membawa kesejukan suasana dalam masyarakatnya, dan akan sering
terjadi permasalahan-permasalahan di negaranya bahkan banyak terdapat musibah
bencana.
Nama petilasan ini bukan berarti dari nama
sosok yang telah berusia lanjut hingga kemudian dijuluki mbah. Namun, jika kita
mau berhayat yang lebih dalam, sesungguhnya nama tersebut memberikan sebuah
maksud, yaitu kita harus menyembah dzat Yang Maha Agung. Maknanya, tidak
diperbolehkan pada diri kita untuk menyekutukan Tuhan Yang Maha Besar lagi Maha
Esa.
Seperti tempat-tempat ritual lainnya,
petilasan Mbah Gusti Agung merupakan salah satu loka ritual yang pelaksanaannya
serangkai dengan loka ritual lainnya. Jika kita melakukan ritual di Gunung
Srandil, petilasan ini merupakan loka ritual inti yang pertama untuk
dikunjungi, setelah loka ritual pembuka (Kaki Kunci Sari). Biasanya, ritualis
yang berkunjung akan mengutamakan hari-hari tertentu seperti hari Selasa Kliwon
dan Jumat Kliwon. Pada hari-hari tersebut, kawasan spiritual Srandil sangat
ramai dikunjungi oleh para kaum spiritual.
Petilasan Mbah Gusti Agung mempunyai versi
lain. Ada yang menyebutkan bahwa di situ adalah makam salah satu syekh di tanah
Jawa. Hal itu sangat tidak tepat. Sebab, spiritual Gunung Srandil dan Gunung
Selok tidak ada kaitannya dengan religiusisme kaum berlabel. Namun, anggapan
tersebut silahkan saja, asal tidak melenceng dari sejarah asli dan sikap dalam
ritualnya pun sebaiknnya tidak menyimpang jauh.
Pada jaman dahulu, petilasan Mbah Gusti Agung
tidak berebentuk bagunan seperti sekarang. Dulu hanya batu yang bisa digunakan
untuk duduk bersemedi. Jika ada angin atau hujan deras, maka akan basah kuyup,
kecuali jika berlindung di bawah tebing yang agak cekung. Sedangkan pada masa
sekarang, ritualis telah dinyamankan oleh bangunan berkeramik dan beratap,
meskipun berukuran tak seluas tempat ibadah agama-agama. Jika sedang banyak
dikunungi oleh ritualis, maka pengunjung diwajibkan menunggu (antri) di depan
tempat ini.
Bagi orang yang hendak ritual, jika belum
terbiasa melakukan ritual Jawa, hendaknya didampingi oleh juru kunci atau orang
yang dianggap telah mumpuni. Sebab, agar alur ritualnya bisa terarah. Sedangkan
untuk juru kunci petilasan ini, dapat dihubungi di sekretariat Gunung Srandil
dan buka 24 jam setiapn harinya. Jika dengan pendampingan juru kunci, maka
ritualis (pengunjung) akan disarankan untuk melakukan ritual ke tempat lainnya.
Karena petilasan Mbah Gusti Agung sudah merupakan rangkaian jalur spiritual
Srandil, dan merupakan salah satu dari 7 petilasan yang ada di Gunung Srandil.
Petilasan bukanlah makam. Jadi ada baiknya
tidak memperlakukan petilasan seperti halnya berziarah ke makam. Sebab,
petilasan merupakan tempat untuk bertapanya seseorang. Biasanya tempat yang
digunakan untuk bertapa adalah tempat yang berbeda dengan tempat lainnya. Perbedaan
itu ada pada energi yang menyelimuti. Sedangkan makam adalah tempat
bersemayamnya (dikuburnya) jasad manusia, jadi sangat berbeda dengan petilasan.
Petilasan Mbah Agung merupakan petilasan
masyarakat Jawa. Maksudnya, petilasan ini tidaklah sama dengan makam-makam para
wali di daerah pantai utara. Petilasan Jawa memang disyaratkan untuk membawa
bunga dan kemenyan saat melakukan ritual. Hal ini bukan berarti mengundang
setan atau jin. Tujuan membakar kemenyan adalah untuk sarana tersampaikannya
doa. Dalam hal ini, menyan merupakan zat wangi yang merupakan tatanan religi
pada setiap keyakinan saat akan bersembahyang.
Meskipun demikian, orang-orang yang
sentimentil terhadap spiritual Jawa akan mengatakan bahwa membakar kemenyan
adalah hal yang salah besar dan bahkan menyekutukan Tuhan. Perkataan tersebut
adalah bukti bahwa orang yang mengatakan masih awam, karena orang awam belum
banyak pengetahuannya tetapi biasanya menganggap dirinya sudah mumpuni. Pernyataan
– perkataan seperti itu sampai saat ini masih banyak sekali yang mengatakan. Namun,
hal itu bukanlah sesuatu yang boleh untuk diperdebatkan dengan keras.
Setiap manusia menginginkan kebersihan dalam
dirinya. Suatu dzat suci akan bisa ternoda mana kala tidak diperlakukan secara
suci. Adakalanya manusia itu sebagai makhluk yang bisa berdiri sendiri, akan
tetapi sesungguhnya manusia adalah makhluk sosial yang terpimpin. Jika tidak ada
pemimpin yang menjadikan terpimpinnya manusia (rakyat), maka keadaan bisa
terpecah dan terurai seperti sesuatu yang besar tapi berubah menjadi
kepingan-kepingan atau bahkan serpihan-serpihan.
Jika pemipin rakyat hanya menganggap dirinya
telah menjadi pemimpin tetapi menganggap dirinya sudah tidak terpimpin, itulah
ketidak bijakan seorang manusia. Karena, setiap pemimpin di muka bumi, sungguh
mempunyai raja dari segala raja, yaitu Tuhan Yang Maha Agung, Maha Esa, lagi Maha
Kuasa.
Agar tidak demikian, kenalilah siapa sejatinya
diri kita, agar dapat mengetahui kesejatian yang paling sejati. Mengetahui bukanlah
mendengar lalu mempercayai. Mengetahui adalah berpijak pada suatu yang
dijadikan keputusan (prinsip) atas dasar menjalani proses penggapaian pengetahuan
sendiri, tidak sekedar mendengar kata-kata orang lain, lalu dijadikan sebuah
pijakan.
Comments
Post a Comment