Mengenal Kaum Kejawen di Cilacap
sumber gambar: google |
Kabupaten Cilacap termasuk salah satu
wilayah di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah, yang memiliki keaneka
ragaman budaya. Kabupaten yang berada di pesisir Samudera Hindia ini
juga memiliki banyak warisan budaya yang menjadi ciri khas keadaan
masyarakat hingga kini. Salah satu diantaranya adalah lapisan
masyarakat yang menganut paham kepercayaan peninggalan leluhur (biasa
disebut kejawen/ kejawan). Mereka menyebut dirinya sebagai penganut
Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat yang menganut
paham kejawen ini kebanyakan berada di wilayah Cilacap bagian timur,
yakni terbentang mulai timur Sungai Serayu hingga Jetis (perbatasan
Kabupaten Kebumen). Lalu sisa yang lainnya lagi berada di dekat-dekat
pegunungan Ciwuni, Dondong, dan sebagiannya lagi di Jeruk Legi serta
di Kampung Laut.
Warga masyarakat yang menganut
kepercayaan tersebut terkumpul dalam suatu paguyuban dalam setiap
keturunan keluarga besar yang menjadi cikal-bakal di desa itu. Ketua
atau yang menjadi tokoh sesepuh dalam setiap paguyuban orang-orang
kejawen di Cilacap biasa disebut dengan istilah bedogol.
Mungkin jika dalam suku pedalaman, bedogol bisa diartikan hampir sama
dengan kepala suku. Selain bedogol, ada jabatan lain yang disebut
dengan prapag.
Prapag adalah orang kepercayaan bedogol yang menjalankan tugas-tugas
tertentu dalam suatu acara budaya yang diselenggarakan oleh
bedogolan.
Sedangkan bedogolan merupakan istilah satu perkumpulan anak-putu
(anak-cucu) yang berfungsi untuk menyalakan
obor kekeluargaan. Biasanya
garis nasab (keturunan) bedogolan ini diambil dari leluhur yang
pernah menjadi tokoh atau cikal bakal di wilayah/ desa itu.
Uniknya, dalam setiap bedogolan (terutama
di wilayah-wilayah yang mendukung) mempunyai suatu tempat yang biasa
digunakan untuk berkumpul, berdoa bersama, menjalankan acara-acara
adat, dan acara-acara tertentu lainnya. Tempat tersebut dinamakan
pasamuan/ pasemon. Bangunan pasamuan ini bentuknya sangat khas
arsitektur Jawa klasik. Kebanyakan diantaranya masih non-permanen.
sumber gambar: merdeka.com |
Diantara beberapa desa yang masyarakatnya
banyak menganut kepercayaan adalah Desa Adiraja, Kecamatan Adipala.
Di desa ini, mayoritas penduduknya menganut kepercayaan. Konon,
mereka adalah pewaris budaya dari salah satu kerajaan tua yang pernah
ada di Nusantara. Di Desa Adiraja, terdapat 12 bedogolan. Kesemuanya
itu tergabung dalam sebuah paguyuban yang bernama Paguyuban Resik
Kubur Jawa (PRKJ). Masyarakat penganut Kepercayaan Kepada Tuhan Yang
Maha Esa di desa ini sangat aktif dalam melestarikan budayanya.
Bahkan, setiap orang yang sudah berkeluarga hampir diwajibkan untuk
melaksanakan selamatan
dalam setiap weton/
hari kelahirannya. Serta, setiap tahun mereka mengadakan ritual besar
dalam 4 kali. Yakni ketika bulan Sura, Mulud, Sadran, dan Sawal.
Ritual tersebut biasanya diadakan di Kaendran, Daun Lumbung, ataupun
Pekuncen Jatilawang
Selain Desa Adiraja, yang terkumpul dalam
PRKJ adalah anak-cucu dari Desa Pekuncen Kroya, Pesanggrahan Kroya,
dan Banjarwaru Nusawungu, serta sebagian masyarakat di Desa Pekuncen
Jatilawang, Banyumas. Ritual-ritual yang mereka jalani pun hampir
sama dengan orang-orang Adiraja. Karena, konon mereka semua adalah
satu garis keturunan dan masih tergolong keluarga besar. Dari
bedogolan-bedogolan tersebut, terdapat satu Kyai
Kunci. Kyai Kunci adalah
sesepuh utama dalam perkumpulan orang-orang penganut kepercayaan
tersebut. Mereka menyadari bahwa sosok Kyai Kunci adalah seorang yang
telah menggapai keanugerahan dari Tuhan Yang Maha Esa. Kyai Kunci
sangat dihormati dan dipatuhi oleh mereka, para warga kejawen di
atas. Karena, menjadi seorang Kyai Kunci adalah setiap hari untuk
mendoakan seluruh komponen masyarakat. Biasanya, jabatan Kyai Kunci
merupakan turun-temurun dari orang-orang sebelumnya.
Mungkin diantara anda ada yang pernah
melihat beritanya di televisi. Mereka (orang-orang bedogolan) Desa
Adiraja , Banjarwaru, dan lainnya jika dalam bulan-bulan tertentu,
melakukan ritual (selamatan) dari Kaendran, Adipala – Daun Lumbung,
Cilacap – Pekuncen Jatilawang, atau sebaliknya. Jika orang-orang
biasa, mungkin ke tempat-tempat itu akan mengenderai sepeda motor
atau mobil. Namun, mereka menjalani ritual itu secara berjalan kaki.
Total keseluruhan jaraknya mungkin sekitar 80 Km. Segala
barang-barang dan perlengkapan (uba
rampe) selamatan itu pun
mereka pikul bergantian. Mereka mengenakan pakaian adat lengkap
dengan jarit, beskap, dan iket (seperti blangkon), serta tidak
mengenakan alas kaki. Namun, untuk generasi-generasi yang sekarang,
diantara mereka banyak yang mengenakan alas kaki dengan sandal
jepit.
Selain bedogolan di desa-desa tersebut di
atas, di Desa Karangbenda, Pedasong, Jati, jepara Wetan, dan Jepara
Kulon pun terdapat bedogolan dan paguyuban. Mereka semua hidup
berdampingan dengan semua lapisan masyarakat. Setiap Tahun Baru Jawa,
perkumpulan paguyuban Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di
Kabupaten Cilacap memperingatinya secara bersama. Biasanya diadakan
selamatan dan lalu pagelaran wayang kulit semalam suntuk.
Peringatannya selalu meriah dan berjalan dengan damai.
Para Kaum Bedogolan (masyarakat penganut
Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa) diwarisi sebuah kegiatan
budaya dari leluhur-leluhurnya terdahulu. Mereka pun kini tetap
menjaga kelestariannya dan mewariskannya pada anak cucu mereka agar
ajaran tersebut tidak hilang ditelan jaman. Para generasi muda kaum
kejawen juga tergolong bersemangat dalam menjalankan aktivitasnya.
Berdasarkan tingkatan usia, mereka diajari sopan santun &
unggah-ungguh, membaca sastra kuna, melantunkan macapat, kesenian
tradisional Jawa, doa-doa, dan sebagainya. Tujuannya adalah agar
mereka tahu tentang kesejatian. Meskipun, tak semua dari putra-putri
kejawen di Cilacap mau menjadi pewaris kebudayaan Jawa itu. Diantara
generasi-generasi kejawen sekarang, ada yang belajar dan memeluk
keyakinan agama. Kebanyakan dari mereka beralasan, apa yang diyakini
keluarganya itu, tidak ada mata pelajarannya di sekolah.
Keberadaan masyarakat penganut keyakinan
budaya warisan leluhur memang sering menuai kontroversi di beberapa
kalangan. Padahal, kalau kita mau mengakui, mereka-lah yang tak
berkhianat dengan negeri ini. Karena, mereka bukanlah pelestari
sastra & budaya yang bersumber dari manca. Walaupun di beberapa
desa keberadaan mereka dikucilkan dan banyak isu-isu yang tak sedap
untuk mereka. Akan tetapi, mereka tetap teguh dalam menjalankan
keyakinannya. Karena mereka yakin bahwa mereka tidak seperti apa yang
dikatakan oleh masyarakat yang tak sepaham dengannya.
Sebuah warisan budaya dari leluhur kita
yang seperti itu adalah suatu hal yang sangat pantas untuk kita jaga
kelestariannya. Adanya bedogolan beserta upacara-upacara ritualnya,
bukanlah suatu hal yang dapat kita salahkan. Karena, mereka pun
meyakini adanya Tuhan dan mereka tidak menyembah setan-setan.
Hanyalah pihak-pihak yang tidak suka, menyebut mereka dengan kaum
yang menyekutukan Tuhan. Padahal sejatinya mereka termasuk pondasi
kekuatan negara ini. Karena, ajaran mereka sangat menjunjung tinggi
Pancasila, serta mengajarkan agar tidak melupakan perjuangan dan
pengorbanan para leluhur di negeri ini. Yang jelas, menjadi mereka
bukanlah suatu hal yang mudah. Karena mereka harus mempertahankan
paham keyakinan dan budaya tradisional di era modern yang serba
teknologi canggih seperti sekarang ini.
itu memang benar, tapi , masih banyak hal dan budaya desa adiraja yang belum tercantum di situ,.
ReplyDeleteBoleh dong ceritakan apa saja about adiraja.. :)
Deletemenarik banget ya.
ReplyDeletetapi kenapa pemerintah & banyak masyarakat kita justru menghilangkan identitas diri yg dasar ajarannya sangat baik? malah kita membanggakan ajaran keagamaan yang datang darii negara lain.
Beginilah sekarang bangsa kita, banyak yang lupa sama darah aslinya. Wajar kalau udaranya setiap hari panas bagai di gurun pasir, sebab itulah yang dibanggakan.
Delete